Cerita Dewasa Kisah Nyata Cemburu Membawa Nafsu Bercinta
Kisah ini merupakan kisah nyata yang di alamin oleh salah satu pembaca cerita dewasa , nama , tempat itu semua sudah di samarkan.Oleh karena itu cerita sex kali ini sangat mengunggah gairah kita untuk mencoba nya. Ingin tau lebih lanjut silahkan di simak saja Cerita Dewasa Kisah Nyata Cemburu Membawa Nafsu Bercinta . Berikut cerita 17+ nya :
Namaku Rudi. Usiaku 28 tahun. Aku akan menceritakan tentang kisah kehidupanku yang kemudian mengubah pola pikirku dalam memahami cinta dan nafsu.
Cerita sex ini terjadi beberapa tahun yang lalu saat aku mempunyai seorang pacar yang sedang mengerjakan skripsi guna menyelesaikan studi S1-nya. Sebagai seorang pacar aku selalu mencoba menemaninya mengerjakan skripsi namun di sisi lain sebagai seorang karyawan aku pun harus mengutamakan pekerjaanku. Kisah ini terjadi pada 28 Juli 2004 di suatu senja di kota K.
“Halo Rudi.. ‘Met sore” Melisa pacarku meneleponku.
O iya, sebagai gambaran, pacarku cantik, wajahnya hampir mirip artis yang sering tampil di layar televisi, bodynya sexy, sintal, montok, serta ukuran BH-nya 36 B.
“Hallo juga Melisa, lagi dimana nih?”.
“Aku di rumah, eh kamu ada acara nggak?”.
“Kalau ya kenapa dan kalau nggak kenapa” .
“Aku mau minta tolong dong, papa mama kan lagi pergi ke Jakarta. Di rumah aku sendirian, aku mau ngerjain skripsi. Mau nggak nemenin aku?”
“Kapan?”.
“Dua tahun lagi.. Gimana sih ya sore ini dong”.
“Yah kalau sore ini aku nggak bisa, aku udah janjian ama temen bisnisku untuk merancang pembuatan proposal proyek”.
“Ya udah kalau nggak bisa aku minta temenin temen kampusku aja biar sekalian bisa diskusi”.
Aku kemudian bergegas untuk pergi dengan teman bisnisku, sebenarnya ingin sekali aku menemani Melisa, namun apa boleh buat karena aku berpikir bisnis ini kan juga untuk masa depan kami berdua, jadi nggak mungkin aku batalkan.
Sementara Melisa kemudian mengajak temennya Teguh yang memang sudah kukenal untuk menemaninya mengerjakan skripsi. Teguh ini adalah sahabat Melisa, teman sekampusnya. Kalau kulihat dari tatapan matanya aku tahu betul kalau Teguh itu naksir kepada Melisa, apalagi memang Melisa orangnya sangat friendly dan cantik lagi sehingga siapapun lelaki pasti tak akan menolaknya ketika diajak menemani.
Acara dengan rekan bisnisku ternyata tidak berlangsung lama, karena ternyata ia ada saudaranya yang meninggal sehingga harus segera pergi. Di satu sisi aku girang juga karena aku segera dapat menemani kekasihku Melisa. Segera kupacu mobilku menuju ke rumahnya. Sengaja aku tidak meneleponnya karena aku akan memberi kejutan kalau aku bisa menemaninya. Terbayang wajahnya yang cantik, aku ingin memeluknya dan segera berduaan dengannya.
Tiba-tiba di tengah jalan aku teringat kalau ia tadi sudah menelepon temannya Teguh. Entah mengapa tiba-tiba aku jadi cemburu membayangkan mereka lagi berduaan dan bercanda ria. Padahal aku biasanya tidak merasakan ini karena aku paham betul siapa Teguh.
Pukul 20.00 tepat sampailah aku di rumah Melisa. Sayup-sayup kudengar orang tertawa-tawa dari dalam, sepertinya mereka tidak menyadari ada orang yang datang. Kuurungkan niatku untuk menekan bel, aku ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, sehingga aku mencoba mengintip dari jendela kaca. Kulihat mereka lagi bercanda, apalagi Teguh orangnya memang pintar melawak. Ada perasaan cemburu dalam dadaku melihat keasyikan mereka berdua. Sesekali kulihat Melisa mencubit Teguh karena saking gemasnya. Aku betul-betul tak tahan melihatnya. Langsung kubuka pintu depan rumahnya, hingga membuat mereka terkejut.
“E Rudi..”, serempak mereka mengucapkan itu melihat kedatanganku.
“Katanya garap skripsi kok malah asyik berduaan gitu?”, bentakku ke Melisa, karena cemburukku yang tidak terkontrol.
“Iya.. Kita kan lagi istirahat dulu”, jawab Melisa sambil tergagap. Kulihat Teguh hanya diam saja mematung.
Nampaknya ia tidak mau terlalu ikut campur karena “internal” kami.
“Kok nggak ada buku-bukunya?”, tanyaku dengan kesal.
Tanpa menunggu jawaban kemudian aku keluar sembari membanting pintu menuju mobilku yang kuparkir di halaman. Aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa secemburu ini padahal aku juga sudah kenal baik dengan Teguh dan aku pun paham meski pun kadang Melisa agak sedikit genit namun dia tidak mungkin melakukan hal yanhg aneh-aneh dan melebihi batas.
Aku masuk ke mobilku dan ku starter mobilku, tiba-tiba Melisa keluar dari rumah dan berteriak-teriak memanggil namaku.
“Rudi.. Rudi..”, ia langsung masuk ke mobilku.
“Kamu kenapa sih Rudi kok nggak biasanya kamu begitu?”.
“Gak usah banyak tanya, kan udah jelas kamu ini nggak tahu diri, aku lagi susah-susah untuk berusaha mengerjakan bisnis untuk masa depan kita berdua tapi kamu malah enak-enakan, bermesra-mesraan dengan Teguh”.
“Kamu jangan salah paham Rudi.. Kok tega kamu menganggap aku serendah itu, aku kan hanya minta tolong sama Teguh apalagi dia yang lebih paham masalah skripsi ini.. Kamu jahat Rudi”, Melisa mencoba menjelaskan sambil menangis.
Melihatnya menangis aku menjadi iba, teringat aku akan kebaikannya, lucunya, keceriannya, bibir seksinya.
Sejenak aku diam, kemudian kurengkuh badannya dalam pelukanku.
“Tapi kamu nggak selingkuh kan sayang?”.
Melisa menggeleng, kuseka air matanya, kuelus pipinya kemudian kukecup bibirnya. Ia membalas, lidah kami saling bertautan.
“Uhh.., ogh..”, ia melenguh ketika sambil kucium bibirnya tangan bergerilya ke payudaranya.
“Uhh Rudi.. Aku sayang kamu”, ciuman lidahnya makin panas dalam mulutku, sementara tanganku terus bergerilya pada dua buah dadanya yang montok.
Aku tahu betul kalau Melisa ini paling tidak tahan ketika dadanya di sentuh, apalagi kalau putingnya di pegang pasti langsung mengeras bagaikan tersengan listrik 3000 volt.
“Ahh.. Uh.. Rudi.. Aku nggak tahan, kita lanjutin di kamar yuk.. Gak enak kalau kelihatan orang”.
Wajah Melisa memerah, nampak sekali kalau ia menahan gairah yang luar biasa. Tanpa banyak bicara langsung kupapah Melisa sambil terus berangkulan menuju kamarnya. Kulihat di ruang tengah Teguh tak ada, mungkin ia sedang di belakang. Tapi kami tak ambil pusing, langsung kubawa Melisa ke kamarnya. Tanpa sempat menutup pintu sehingga agak terbuka sedikit. Kurebahkan tubuh Melisa di kasur, kuciumi bibirnya, pipinya dan tak ingun kulepaskan.
“Ohh.. Rudi.. Uh.. Nikmat sekali”, Melisa terus menggelinjang ketika kubuka bajunya.
Tersembul di depan mukaku dua buah gunung yang masih terbungkus kain meski tidak menutupi semuanya. Putih bersih begitu indah dan menggairahkan. Kuciumi kembali ‘buah’ yang masih tertutup itu.
“Uh.. Ogh.. Uh.. Ogh..”.
Desahan suara Melisa semakin menggairahkan aku untuk terus memainkan payudaranya. Perlahan kubuka kait tali BH nya dari belakang, sedikit demi sedikit kutarik semua BH nya.
“Oh..”.
Lenguhan Melisa semakin kencang. Sejenak kupandangi dua buah gunung yang sudah tak berkain lagi, tampak putingnya yang kecoklatan mengeras tegak seolah memanggilku untuk segera menjilatnya
“Kok dipandangi aja sih.. Cium dong”.
Melisa memintaku seakan tak sabar untuk segera memintaku melumat habis putingnya. Kudekatkan perlahan kepalaku di dadanya. Kujilat-jilat kulit di sekitar putingnya sembari menggodanya untuk memberikan sensasi yang luar biasa.
“Oh.. Oh, ogh,” Melisa merintih ketika lidahku tepat berada di putingnya. Kubasahi putingnya dengan ludahku.
“Aughh.. Ohh.. Ogh..”, rintihan dan lenguhannya makin keras saat kutarik putingnya dengan mulutku..
“Ohh.. Ambil semua Rudi.. Ambil semua.. Aku milikmu Rudi”, napas Melisa semakin tak beraturan menggelinjang ke kanan ke kiri bagai cacing kepanasan.
Sementara itu akibat kelalaian kami tak menutup pintu, sepasang mata terus mengamati aktivitas yang aku dan Melisa lakukan. Di luar sepengetahuanku, Teguh ternyata mengintip perbuatan kami. Memang bukan sepenuhnya dia yang salah tapi juga karena keteledoran kami yang karena terlalu asyik tidak sempat menutup pintu.
Aku terus mencumbu Melisa, kujilat perutnya dan terus kebawah. Pelan namun pasti kubuka celana jeans Melisa, tangannya secara refleks juga ikut membantu menurunkan celananya. Terlepaslah celana jeans biru Melisa, kini yang tertinggal hanyalah celana dalam warna pink yang di dalamnya tampak gundukan hitam yang ditumbuhi rambut ynag cukup lebat.
“Oh.. Teguh..”, teriak tertahan Melisa yang makin terangsang, sambil menggigit bibir menahan gelora nafsu yang kian panas.
“CD-mu lepas sekalian yah?”
“Ehm..”, ungkap Melisa sembari menggangguk, seakan tak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata.
Kini Melisa telah telanjang bulat di depanku, bodynya betul-betul menggairahkan membuat ‘adik’ kecilku yang masih tersimpan di celana berontak meminta untuk keluar ikut bergabung.
“Kamu lepasin juga dong pakaianmu.. Kan nggak adil kamu masih lengkap aku dah telanjang bulat gini”.
Tanpa banyak bicara kulepaskan seluruh pakaianku, hingga keluarlah senjataku yang telah berdiri tegak dan bersiap menjemput mangsanya. Kutundukkan kepalaku untuk menciumi gundukan bukit kecil Melisa yang ditumbuhi hutan hitam yang lebat.
“Ohh.. Uhh.. Ugh”, teriakan Melisa makin tak beraturan, apalagi saat kutemukan benda kecil bagai kacang berwarna merah dan basah. Sejenak kupandangi kemudian kembali kusapu dengan lidahku meminum sari-sari kacang itu dengan nikmatnya.
“Ah.. Rudi.. kamu pintar sekali, terusin Rudi.. terusin”, sambil menggelinjang tangan Melisa mencari-cari sesuatu.
Ups.. Akhirnya ia dapatkan juga tongkatku yang sudah tegak.
“Oh.. Oh..”, aku pun mendesah geli ketika tongkatku dipegang tangan halusnya, perlahan tongkatku dikocoknya.
“Uh.. Uh..”, aku semakin tak tahan merasakan sensasi yang begitu nikmat.
Tiba-tiba Melisa bergerak memutar tubuhnya hingga mulutnya persis berada di ‘adik’ kecilku seolah ia mau berdiskusi lebih jauh dengan ‘adik’ku yang gagah. Sedangkan mulutku juga tepat berada di bukit yang di tengahnya terdapat lorong ditutup kacang. Kami bermain dengan gaya 69.
“Oh.. Uhh.. Ogh..”.
“Ah.. Uh.. Slurp.. Slurp..”, bunyi gesekan mulut dan tongkat serta mulut dan gua makin keras terdengar.
Kami asyik dengan mainan kami masing-masing hingga berlangsung sekitar 20 menit.
“Rudi.. Aku nggak tahan lagi, masukin dong tongkatmu ke guaku”, rengek Melisa sambil terus berdiskusi dengan tongkatku, dijilatnya tongkatku hingga licin, bahkan sesekali telornya pun ia cicipi juga.
“Rudi.. Please.. Cepetan donk.. Aku nggak tahan lagi..”.
“He eh..”, jawabku sambil terus menikmati kacangnya..
Beberapa saat kemudian kuputar badanku pada posisi semula. Melisa mengangkangkan kakinya hingga gundukan bukit itu nampak jelas sekali. Hutannya yang hitam dan rimbun membuat pemandangan tampak begitu indah, begitu pula ‘kacang basahnya’ yang melambai-lambai. Wajahnya yang merah, bibirnya yang seksi menahan gairah semakin menambah kecantikannya malam ini.
“Cepetan dong Rudi..”, Perlahan namun pasti kugerakkan tongkatku menuju gua yang lebat itu.
“Ouhh..”, Melisa merintih saat kepala tongkatku mulai masuk kemulut gua yang sudah basah dan licin.
“Ah.. Ouh.. Ohh.”.
“Oh.. Oh.. Uhh..”.
Desahannya dan desahanku bersahutan tatkala pelan-pelan batang tongkatku masuk ke dalam gua. Sejenak tongkat itu kutarik keluar kemudian kumasukkan lagi dengan sangat perlahan.
“Ahh.. Ouhh.. Nikmat sekali Rudi.. Ohh”.
“Aku sayang kamu Melisa”.
“Aku juga Rudi.. Oh nikmat sekali.. Ohh”.
Tongkatku terus bersenam maju mundur di dalam gua Melisa. Sementara itu mulutku juga terus bergerilya di gunung kembar Melisa.
“Ahh.. Rudi.. Oh.. Terus Rudi.. Dalem lagi.. Ohh”, Melisa terus menggelinjang ke sana ke mari, pantatnya juga terus bergoyang bagaikan Inul di atas panggung.
“Oh.. Oh.. Aku tak tahan lagi Rudi.. tongkatmu enak sekali, aku hampir sampai.. terus Rudi lebih keras lagi.. Ohh”.
“Ahh.. Uhh.. Uh.. Aku juga hampir keluar sayang, dikeluarkan dimana? Di luar apa di dalam?”.
Tiba-tiba ada sesuatu lahar panas yang akan segera muntah dari tongkat kenikmatanku.
“Di dalam aja biar nikmat.. Oh.. Uh..” Cret.. Cret.. Crett..”, keluarlah lahar panas dari tongkatku.
“Ohh.. aku sampai..”, ada saat yang bersamaan Melisa juga sampai pada puncaknya.
“Uhh.. Ogh..”.
Lolongan panjang kami mengakhiri pertempuran pertama yang luar biasa nikmatnya. Perlahan nafas kami teratur kembali seperti turun dari puncak kenikmatan yang sensasional.
“Prakk..!”, tiba-tiba terdengar suara vas bunga tersenggol, aku dan Melisa saling berpandangan, terkejut sekaligus sadar kalau Teguh masih ada di ruang tengah.
“Melisa.. Teguh kan belum pulang?”.
“Belum.. kamu sih terlalu bernafsu..”.
“Habis kamu juga sih.. rerlalu menggairahkan he he..”.
“Jangan-jangan dia lihat kita?”.
“Biarin aja deh, kan malah lebih sensasional”
“Dasar Gabrut kamu..”.
“Eh Melisa, aku punya ide”.
Tiba tiba muncul dalam benakku untuk mengajak Teguh ikut serta dalam permainan kami, seolah aku sudah lupa kalau tadi sempat merasa cemburu dengan keberadaannya.
“Ide apaan?”.
“Gimana kalau Teguh kita ajak sekalian main dengan kita”.
“Maksudmu?”.
“Kita ajak dia untuk bercinta bersama, kan lebih asyiik.. pasti jauh lebih nikmat”.
“Ah gila kamu.. gak mau emangnya aku cewek apaan..”.
“Bukan begitu, pasti lebih sensasional. Percayalah ini tidak akan mempengaruhi hubungan kita. It’s just sex not love. Aku juga tetap mencintaimu”.
Sejenak Melisa berpikir, mungkin ia menganggap ideku sangat gila, tapi entah kenapa tiba-tiba bulunya merinding dan tampak wajahnya bergairah, mungkin ia membayangkan permainan tersebut. Namun ia juga tidak mau kalau tampak menggebu menginginkan permainan itu karena bagaimana pun kami memang saling mencintai.
“Apa kamu serius Rudi?”.
“Serius”, aku coba meyakinkan Melisa.
“Kamu nggak cemburu kalau aku main seks juga dengan Teguh?”.
“Ya enggaklah kan aku yang minta, asalkan ada aku”.
“Kamu nggak ngambek lagi kayak tadi saat liat aku hanya bercanda dengan Teguh”.
“Enggak.. percayalah.. ini mungkin malah akan membuat hubungan kita semakin dewasa”.
“Terserah kamulah” Melisa akhirnya pasrah, yang penting tak mengubah apapun pada hubungan kami, karena tiba-tiba ia pun mulai bergairah.
“Ok kalau gitu aku akan bicara ama Teguh”.
Aku segera turun dari ranjang, kupakai celanaku kemudian aku keluar dari kamar. Kulihat Teguh lagi merokok di ruang tengah, dari wajahnya nampak ia sangat gelisah melihat permainan tadi, mungkin ia juga sangat terangsang tapi tak ada pelampiasan. Kaget ia ketika melihatku melangkah ke arahnya.
“Eh Rudi..”.
“Guh.. sori ya perlakuanku tadi, aku agak emosi karena badanku lagi capek, pikiranku juga stress akibat kerjaan”.
“Gak pa-pa kok Rudi.. aku paham, biasalah dalam setiap berhubungan, cemburu itu kan tanda sayang”, ungkapnya sok bijak dan arif.
“Sori juga tadi kamu kami tinggal sendirian di ruang tengah”.
“Gak pa-pa kok”.
“Tapi tadi kamu lihat kan aku ngapain dengan Melisa?”.
“Enggak.. aku nggak.. Tahu..” Katanya agak gugup.
“Gak usah bohong Guh.. aku nggak pa-pa kok, kita kan udah sama-sama dewasa, malah kalau kamu mau boleh kok kalau kamu ikutan”.
“Maksudmu?”.
“Iya kalau kamu mau, kamu boleh kok ikutan”.
“Ikutan apaan?”.
“Ikutan bermain seperti yang kamu lihat tadi”.
“Apa aku nggak salah denger?”.
“Enggak.. tadi aku juga udah bicarakan ama Melisa, Melisa juga setuju kok, itung-itung ini sebagai tanda maaf kami berdua, lagian kamu kan juga udah lihat semuanya”.
Teguh tercenung, mungkin ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar, ia seolah sedang bermimpi. Tapi aku segera menyadarkannya.
“Yuk kita ke kamar.. kasihan Melisa udah menunggu lama”, kutarik tangan Teguh untuk ikut ke kamar Melisa.
Begitu masuk kamar, nampaklah Melisa sedang telentang di tempat tidur sambil diselimuti sedikit di bagian bawah perutnya. Teguh melongo melihat pemandangan yang luar biasa, paha yang putih mulus, dada yang indah membusung, pemandangan yang mungkin selama ini hanya ia bayangkan saat melakukan onani karena aku pun tahu kalau memang sudah sejak lama ia sangat tertarik dan bernafsu ketika melihat Melisa. Namun sejauh ini ia cukup tahu diri karena Melisa sudah ada yang punya. Tapi kini Teguh melihat Melisa yang betul-betul dalam posisi menantang, atas ajakanku sendiri yang merupakan pacarnya Melisa.
“Kok diem Guh, kenapa?”, sapa Melisa memecahkan kesunyian.
Kulihat sebenarnya Melisa agak gugup dipandangi seperti itu. Apalagi kini di depannya ada dua lelaki yang selama ini memang dekat dengannya yang satu sahabatnya yang satu adalah pacarnya. Atau mungkin ia juga membayangkan sebentar lagi kedua orang dekatnya itu akan menjamah tubuhnya dan memberikan kenikmatan kepadanya. Kulihat pancaran wajahnya sangat bergairah. Sedangkan aku sendiri juga tidak tahu kenapa, saat ini sama sekali tidak ada rasa cemburu sedikit pun, malah yang justru aku sangat terangsang menghadapi permainan yang akan segera kami mulai.
“Yuk Guh kita mulai pestanya”, kuajak Teguh segera mendekat ke Melisa.
Kulepas semua baju yang ada di tubuhku, juga kuminta hal yang sama dengan Teguh. Kini kami bertiga dalam keadaan yang sama-sama telanjang. Kulirik tongkat Teguh yang sudah tegak, dari sisi ukuran memang tak jauh beda. Namun masing-masing punya kekhasan tersendiri. Punyanya agak melengkung sedangkan punyaku menjulang dengan kokohnya.
Aku memulai duluan dengan merundukkan kepalaku pada bagian bawah perut Melisa. Hutannya yang lebat kuciumi dengan seksama.
“Ouh.. Ouh..”, Melisa merintih kenikmatan.
Teguh pun tidak mau ketinggalan, ia mengambil bagian pada wajah Melisa. Ia ciumi bibir Melisa dengan lembutnya. Bibir sensual yang selama ini hanya ada dalam bayangannya.
“Ouh.. Ogh.. Uh..”, Melisa tak tahan menahan sensasi serangan bawah atas, tubuhnya menggeliat ke sana ke mari, pantatnya bergoyang bagai tampah yang sedang diputar-putar.
Sambil terus beradu bibir dengan Melisa, tangan Teguh bergerilya ke dalam payudara Melisa yang ranum.
“Ouh.. Ou..”, sensasi yang Melisa rasakan makin menjadi-jadi.
“Hh.. Uh..”, desah nafas kami makin tak beraturan.
Sambil terus kujilati ‘kacang basah’ Melisa, kulihat Teguh mengubah posisi. Tongkatnya yang melengkung itu ia sodorkan ke mulut Melisa. Dan Melisa pun menyambutnya dengan antusias.
“Ouhh.. Ups..”, pelan dan pasti tongkat Teguh keluar masuk dari mulut Melisa.. Terkadang Melisa melahapnya hingga hampir mengenai telurnya.
“Ohh..”, kudengar erangan Teguh menahan kenikmatan dari mulut yang selama ini ia bayangkan. Sementara aku sendiri juga mengubah posisi, tongkatku yang sudah tegak kucoba untuk kumasukkan ke dalam tempat ‘kacang basah’ Melisa.
“Aauuww.. Ohh.. Auww”, Melisa berteriak tertahan menahan kenikmatan tongkatku, namun tertahan suaranya oleh tongkat Teguh yang sedang maju mundur.
Kulihat wajah pacarku ini benar-benar cantik dan menggairahkan dengan dua buah tongkat yang sedang memasuki lubang atas dan bawahnya. Kugerakkan tongkatku maju mundur mengikuti gerakan Teguh yang juga maju mundur dalam mulut Melisa.
“Ohh.. Ua.. Uuaoww”, berbagai suara-suara tertahan serta desahan nafas memecah kesunyian malam itu.
Setelah berlangsung selama 10 menit, kemudian Teguh menoleh ke arahku, meski ia tak bicara tapi aku mengerti kalau ia minta ijin kepadaku untuk tukar posisi, karena ia ingin merasakan juga nikmatnya ‘kacang basah’ Melisa. Kami pun bertukar tempat. Tongkat Teguh di bawah, sedangkan tongkatku di mulut Melisa.
“Ouhh.. Ohh..”, tongkatku maju mundur dalam mulut Melisa, kadang kepalanya ia jilat, kadang batangnya bahkan kadang seluruhnya ia telan.
“Ouhh enak sekali Ris.. punya kamu masih seret.. Ohh”, terdengar Teguh meracau merasakan nikmatnya gua Melisa.
“Ris, kamu makin cantik sekali, dengan wajah penuh permen gitu.. Ohh”, matanya melotot kugodain seperti itu, tapi makin tambah nikmat.
“Ohh Ris.. dada kamu montok sekali.. Ohh”.
“Ahh.. kamu menggairahkan sekali Ris..”.
“Auh.. Ohh”, sensasi yang kami rasakan makin menjadi.
Mata Melisa berkejap-kejap tanda ia sudah mau mencapai orgasme, aku hapal betul tanda-tanda ini karena aku sering bermain cinta dengan Melisa.
“Ohh.. Ohh..”, di saat yang sama akupun juga merasakan hal serupa, akhirnya kutumpahkan seluruh lahar panasku kemulutnya. “Crutt.. Crutt..”.
“Ups.. Ohh..”.
Mulut Melisa belepotan oleh cairan lahar panasku. Sebagian ia telan karena ia mempercayai akan membuatnya awet muda. Sedangkan Teguh masih terus memompa, tapi kulihat ia pun hampir mengeluarkan lahar panasnya.
“Ohh.. Huu.. Ohhghh..”.
“Cret.. Cret.. Crret..”, tumpahlah lahar panas Teguh yang ia keluarkan di perut Melisa, sengaja ia tidak mau mengeluarkan di dalam karena takut resiko pada kehamilan Melisa, meski sebenarnya Melisa sudah meminum obat anti hamil.
Kami bertiga kemudian tergeletak lemas, namun puas setelah mencapai puncak bersama-sama.
Karena Melisa di rumah sendirian, maka semalam kami terus berpesta. Kadang aku dengan Melisa, kadang Teguh dengan Melisa, kadang juga bertiga. Tapi yang pasti aku tidak dengan Teguh karena aku masih waras bukan gay. Dan kulihat Melisa sangat menyukai permainan ini. Sejak saat itu hubunganku dengan Melisa semakin mesra, tanpa ada rasa cemburu tapi semakin cinta. Dan rencananya kami juga akan segera menikah. Sedangkan petualangan kami terus berlanjut yang mungkin di lain waktu kuceritakan.
Bagaimana Dengan Cerita Nya? Menarik Bukan Karena Di Sini Kita Bisa Ikut Merasakan Rasa Nya Melalui Cerita Dewasa Nya Ini.Oleh Karena Ini Jangan Lupa Untuk Di Simak Cerita Hot Lainnya Di Bawah Ini :
0 komentar:
Posting Komentar