Cerita Dewasa Berdasarkan Kisah Nyata Goyangan Maut Sinta
Kisah ini merupakan kisah nyata yang di alamin oleh salah satu pembaca cerita dewasa , nama , tempat itu semua sudah di samarkan.Oleh karena itu cerita sex kali ini sangat mengunggah gairah kita untuk mencoba nya. Ingin tau lebih lanjut silahkan di simak saja Cerita Dewasa Berdasarkan Kisah Nyata Goyangan Maut Sinta . Berikut cerita 17+ nya :
“Masak apa Sin?” kataku sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur.
“Ngagetin aja sih, hampir aja kena tangan nih,” katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya. “Tapi nggak sampe keiris kan?” tanyaku menggoda.
“Mbak Ratri kemana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?” tanyanya tanpa menolehku.
“Dia lembur, nanti aku jemput habis magrib,” jawabku.
“Kamu nggak ke kampus?” aku balik bertanya.
“Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat.”
“Aauww,” teriak
Sinta tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk kirinya.
“Sini aku bersihin,” kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang aku raih begitu saja dari atas meja makan.
Sinta nampak meringis saat aku menetesinya dengan Betadine, walau lukanya hanya luka irisan kecil saja sebenarnya. Beberapa saat aku menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Sinta nampak terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya.
“Udah ah Mas,” katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku.
Aku pura-pura tak mendengar, dam masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku. Aku kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya.
“Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya,” katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.
Kali ini ia berhasil melepaskannya.
“Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?” godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya.
“Yee, nggak ada hubungannya, tau,” jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena usiaku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, istriku yang juga kakak dia 25 tahun, sedangkan adik iparku ini masih berumur 23 tahun.
“Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.
Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab,
“Tergantung.”
“Tergantung apa Mas?” desaknya seperti penasaran.
“Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja dia lupa Ma pacarnya,” jawabku sekenanya sambil terkekeh.
“Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?” tanya dia.
“Hehehe,” aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu.
“Yee, malah ketawa sih,” katanya sedikit cemberut.
“Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil tertawa.
“Hah, awas lho ya. Ntar Sinta bilangan lho Ma Mbak Ratri,” katanya sambil menahan tawa.
“Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok,” kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya.
“Huuuu, Mas nih ditanya serius malah becanda.”
“Lho, aku emang serius kok Sin,” kataku sedikit berpura-pura serius.
Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi semacam remasan-remasan
gemas. Dia tiba-tiba berdiri.
“Sinta mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin,” katanya.
Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal banget body dia. Begitu pikirku saat itu. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu dia.
“Sini biar aku bantu,” kataku sambil meraih beberapa lembar tempe dari tangannya.
Sinta seolah tak mau dibantu, ia berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya.
“Udah ah, nggak usah Mas,” katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang sebagian.
Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam. Sinta nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan. Lama kami saling berpandangan.
Perlahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan tingkahku kali ini, tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar. Kuraih kepala dia, dan kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku. Hanya hitungan detik saja, kini bibiku sudah menSintuh bibirnya.
“Maafin aku Sin,” bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini.
Sinta tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus melumati bibir tipisnya, tetapi ia belum memberikan respon juga.
Tanganku masih tetap memegang bagian belakang kepala dia, sambil kutekankan agar mukanya semakin rapat saja dengan mukaku. Sementara tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke pinggulnya dan kupeluk dia.
“Sshh,” Sinta seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku yang terus menSintuh dan menciumi bibirnya.
Seperti tanpa ia sadari, kini tangan Sinta pun sudah melingkar di pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih ragu-ragu.
“Sshh,” dia mendesah lagi. Mendengar itu, bibirku semakin ganas saja menjilati bibir Sinta.
Perlahan tapi pasti, kini dia pun mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tangaku dengan liar meremas-remas rambutnya, dan yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.
“Aahh, mass,” kembali dia mendesah.
Mendengar desahan Sinta, aku seperti semakin gila saja melumati dan sesekali menarik dan sesekali mengisap-isap lidahnya. Sinta semakin terlihat mulai terangsang oleh ciumanku. Ia sesekali terlihat menggelinjang sambil sesekali juga terdengar mendesah.
“Mas, udah ya Mas,” katanya sambil berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku.
Aku menghentikan ciumanku. Kuraih kedua tangannya dan kubimbing untuk melingkarkannya di leherku. Sinta tak menolak, dengan sangat ragu-ragu sekali ia melingkarkannya di leherku.
“Sinta takut Mas,” bisiknya tak jauh dari ditelingaku.
“Takut kenapa, Sin?” kataku setengah berbisik.
“Sinta nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan.
Aku pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan apa yang dia takutkan itu. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Sinta dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali dia, dan dia pun perlahan-lahan mulai membalas ciumanku itu.
Tanganku mulai meremas-remas kembali rambutnya. Bahkan, kini semakin turun dan terus turun hingga berhenti persis di bagian pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana pendek tipis saja saat aku mulai meremas-remasnya dengan nakal.
“Aahh, Mas,” desahnya.
Mendengar desahannya, tanganku semakin liar saja memainkan pantat adik iparku itu. Sementara tangaku yang satunya, masih berusaha mencari-cari payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah, akhirnya kudapati juga buah dadanya yang mulai mengeras itu. Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah menegang dari tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut vaginanya.
Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami masing-masing, tetapi Sinta sepertinya dapat merasakan sekali tegangnya batang kemaluanku itu.
“Aaooww Mas,” ia hanya berujar seperti itu ketika semakin kuliarkan gerakan penisku persis di bagian vaginanya.
Tanganku kini sudah memegang bagian belakang celana pendeknya, dan perlahan-lahan
mulai kuberanikan diri untuk mencoba merosotkannya. Sinta sepertinya tak protes ketika celana yang ia kenakan semakin kulorotkan. Otakku semakin ngeres saja ketika seluruh celananya sudah merosot semuanya di lantai. Ia berusaha menaikan salah satu kakinya untuk melepaskan lingkar celananya yang masih menempel di pergelangan kakinya. Sementara itu, kami masih terus berpagutan seperti tak mau melepaskan bibir kami masing-masing. Dengan posisi Sinta sudah tak bercelana lagi, gerakan-gerakan tanganku di bagian pantatnya semakin kuliarkan saja.
Ia sesekali menggelinjang saat tanganku meremas-remasnya. Untuk mempercepat rangsangannya, aku raih salah satu tanganya untuk memegang batang zakarku kendati masih terhalang oleh celana jeansku. Perlahan tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celanaku. Aku sedikit membantu untuk mempermudah gerakan tangannya.
Beberapa saat kemudian, tangannya mulai merosotkan celanaku. Dan oleh tanganku sendiri, kupercepat melepaskan celana yang kupakai, sekaligus celana dalamnya. Kini, masih dalam posisi berdiri, kami sudah tak lagi memakai celana. Hanya kemejaku yang menutupi bagian atas badanku, dan bagian atas tubuh Sinta pun masih tertutupi oleh kaosnya. Kami memang tak membuka itu.
Tanganku kembali membimbing tangan Sinta agar memegangi batang zakarku yang sudah menegang itu. Kini, dengan leluasa Sinta mulai memainkan batang zakarku dan mulai mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas biji pelerku itu.
“Oohh,” tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu.
“Mas, udah Mas. Sinta takut Mas,” katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
“Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku menSintuh klitorisnya.
Lubang vagina Sinta sudah sangat basah saat itu. Aku seperti sudah kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang vaginanya.
“Aaooww, mass, een, naakk..” katanya mulai meracau.
Mendengar itu, birahiku semakin tak terkendali saja. Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Sinta yang sudah sangat basah.
“Aaoww, aaouuww,” erangnya panjang saat kepala penisku kusentuh-sentukan persis di klitorisnya.
“Please, jangan dimasukin Mas,” pinta Sinta, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke vaginanya.
“Nggak Papa Sin, sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
“Sinta takut Mas,” katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya.
Tangan kiri Sinta mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja.
“Pegang aja Sin,” kataku pelan.
Sinta yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari Sinta di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku kelojotan.
“Aku udah gak tahan banget Sin,” bisikku pelan.
“Sinta takut banget Mas,” katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu.
“Aahh,” aku hanya menjawabnya dengan erangan karena nikmatnya dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu.
Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang vaginanya. Saat ini, Sinta tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar semakin maju, dan saat bersamaan juga, tangan Sinta yang sedang meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku. “Kita sambil duduk, sayang,” ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja makan tadi. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku.
Sementara Sinta kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya mengangkang. Sambil kutarik agar dia benar-benar duduk di pahaku, tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas dengan lubang vagina Sinta. Ia sepertinya mengerti dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku. Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Sinta.
“Aahh, aaooww, mass,” Sinta mengerang sambil kelojotan badannya. Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun akan melesak semuanya masuk ke lubang vaginanya.
“Sinnn,” kataku.
“Aooww, ter, russ mass.., aahh..” pantatnya terus memutar seperti inul sedang ngebor.
“Ohh, nik, nikmat banget mass..” katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku. Hampir seluruh bagian mukanku saat itu ia jilati. Untuk mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya.
Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun pantatku.
“Mass, Sin, Sinta mau,” katanya terputus.
Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku.
“Aaooww mass, please mass” erangnya semakin tak karuan.
“Sin, Sinta mauu, kee, kkeeluaarr mass,” ia semakin meracau. Namun tiba-tiba,
“Krriingg..”
“Aaooww, Mas ada yang datang Mas..” bisik Sinta sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya.
“Sinn,” suara seseorang memanggil dari luar.
“Cepetan buka Sinn, aku kebelet nih,” suara itu lagi, yang tak lain adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku. “Hah, Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat.
Sinta seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya.
Sementara itu suara bel dan teriakan istriku terus memanggil.
“Sin, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih,” teriak istriku dari luar sana.
Sinta yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak,
“Sebentarr, sebentar Mbak..”
“Mas buruan dipake celananya,” Sinta masih sempet menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.
Ia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres, ia membuka pintu. Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang ketiduran. “Gila,” pikirku.
“Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini,” gerutu istriku kepada Sinta sambil terus menyelong ke kamar mandi.
“Iya sori, aku ketiduran Mbak,” kata Sinta begitu istriku sudah keluar dari kamar mandi.
“Haa, leganyaa,” katanya sambil meraih gelas dan meminum air yang disodorkan oleh adiknya.
“Mas Jeje mana Sin?”
“Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ,” kata Sinta sambil menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi.
“Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?” kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan.
“Pindah ke kamar gih Mas,” katanya lagi.
Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air minum.
“Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?” tanyaku berbasa-basi pada istriku.
“Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan,” jawab dia.
“Lho, kamu lagi masak toh Sin? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur sih?” kata istriku kepada Sinta setelah melihat irisan-irisan tempe berserakan di meja dapur.
“Mana berantakan, lagi,” katanya lagi.
“Iya tadi emang lagi mo masak. Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh,” Sinta berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum.
Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya istrikulah yang melanjutkan masak. Sinta membantu seperlunya.
Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Sinta bersetubuh, walau belum sempat mencapai puncaknya.
“Waduh, kasihan Sinta. Dia hampir aja sampai klimaksnya padahal barusan, eh keburu datang nih mbaknya,” kataku sambil nSingir melihat mereka berdua yang lagi masak.
Bagaimana Dengan Cerita Nya? Menarik Bukan Karena Di Sini Kita Bisa Ikut Merasakan Rasa Nya Melalui Cerita Dewasa Nya Ini.Oleh Karena Ini Jangan Lupa Untuk Di Simak Cerita Hot Lainnya Di Bawah Ini :
Kisah Nyata Cerita Dewasa Sex Bersama Kak Rini
0 komentar:
Posting Komentar